Sejarah Perjanjian Tumbang Anoi
Untuk mempersatukan wilayah borneo, maka pada tahun 1894, atas prakarsa Damang Batu, dari desa Tumbang Anoi di Kalimantan Tengah mengumpulkan semua or
ang yang memiliki gelar tamanggung, damang, dambung, dohong..se-Borneo, dalam perjanjian Tumbang Anoi.Perjanjian Tumbang Anoi sendiri dimulai dengan pertemuan pendahulu yang disebut dengan Pertemuan Kuala Kapuas, pada tanggal 14 Juni 1893. Dalam pertemuan tersebut membahas beberapa hal sebagai persiapan untuk melakukan pertemuan yang lebih besar, diantaranya adalah :
1. Memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus sebagai tuan rumah untuk menghentikan 3 H (Hakayau=Saling mengayau, Hopunu=saling membunuh, dan Hatetek=Saling memotong kepala musuhnya).
2. Merencanakan di mana tempat perdamaian itu.
3. Kapan pelaksanaan perdamaian itu.
4. Berapa lama sidang damai itu bisa dilaksanakan.
Damang Batu saat itu menyanggupi untuk menjadi tuan rumah sekaligus menanggung biaya pertemuan yang direncanakan berlangsung selama 3 bulan tersebut. Karena semua yang hadir juga tahu bahwa Damang Batu memiliki wawasan yang luas tentang adat-istiadat yang ada di Kalimantan pada waktu itu, maka akhirnya semua yang hadir setuju.
Akhirnya dalam pertemuan pendahulun ini disepakati bahwa :
1. Pertemuan damai akan dilaksanakan di Lewu (kampung) Tumbang Anoi, yaitu di Betang tempat tinggalnya Damang Batu.
2. Diberikan waktu 6 bulan bagi Damang Batu untuk mempersiapkan acara.
3. Pertemuan itu akan berlangsung selama tiga bulan lamanya.
4. Undangan disampaikan melalui tokoh/kepala suku masing-masing daerah secara lisan sejak bubarnya rapat di Tumbang Kapuas.
5. Utusan yang akan menghadiri pertemuan damai itu haruslah tokoh atau kepala suku yang betul-betul menguasai adat-istiadat di daerahnya masing-masing.
6. Pertemuan Damai itu akan di mulai tepat pada tanggal 1 Januari 1894 dan akan berakhir pada tanggal 30 Maret 1894.
Pertemuan Damai akhirnya terlaksana pada 1 Januari 1894 hingga 30 Maret 1894, di Rumah Betang Damang Batu di Tumbang Anoi. Tidak didapatkan informasi lengkap mengenai jumlah peserta dan kepala suku yang hadir saat itu namun dijelaskan bahwa dalam pertemuan damai itu, menghasilkan keputusan yang bersejarah :
1. Menghentikan permusuhan antar sub-suku Dayak yang lazim di sebut 3H Hakayou (saling mengayau), Hapunu (saling membunuh), dan Hatetek (saling memotong kepala) di Kalimantan (Borneo pada waktu itu).
2. Menghentikan sistem Jipen (hamba atau budak belian) dan membebaskan para Jipen dari segala keterikatannya dari Tempu (majikannya) sebagai layaknya kehidupan anggota masyarakat lainnya yang bebas.
3. Menggantikan wujud Jipen yang dari manusia dengan barang yang bisa di nilai seperti baanga (tempayan mahal atau tajau), halamaung, lalang, tanah / kebun atau lainnya.
4. Menyeragamkan dan memberlakukan Hukum Adat yang bersifat umum, seperti : bagi yang membunuh orang lain maka ia harus membayar Sahiring (sanksi adat) sesuai ketentuan yang berlaku. pada yang digunakan lawan*nya manu*sia.
5. Memutuskan agar setiap orang yang membunuh suku lain, ia harus membayar Sahiring sesuai dengan putusan sidang adat yang diketuai oleh Damang Batu. Semuanya itu harus di bayar langsung pada waktu itu juga, oleh pihak yang bersalah.
6. Menata dan memberlakukan adat istiadat secara khusus di masing-masing daerah, sesuai dengan kebiasaan dan tatanan kehidupan yang di anggap baik.
Pertemuan yang sangat bersejarah tersebut ternyata menghasilkan kesepakatan yang fenomenal, yakni menghilangkan kemungkinan perang antar suku dan sekaligus menghapus perbudakan dalam sistem tatanan adat suku dayak. Selain itu mereka juga berupaya untuk membentuk tatanan bersama yang diwujudkan dalam kesepakatan untuk menyeragamkan aturan dalam hukum adat yang sifatnya umum.
Sampai sekarang situs peninggalan perjanjian di Tumbang Anoi masih tersisa.Namun atas rekayasa pemerintah Belanda, pada saat itu tempat Perjanjian Tumbang Anoi yang berupa BETANG, dihancurkan oleh tentara belanda agar perjanjian di Tumbang Anoi di anggap tidak ada. bahan bangunannya dipindahkan sebagian ke Kuala Kapuas, namun tidak dapat mengangkut semua materialnya karena terbuat dari batang ulin yang sangat dalam tertancap tanah, besar, berat serta medan yang panjang melalui sungai yang panjang untuk mengangkutnya. Tumbang Anoi adalah tempat bersejarah perjalanan masyarakat Dayak. Tumbang Anoi menjadi tempat rapat akbar untuk mengakhiri tradisi ”mengayau” pada tahun 1894. Kini, setelah satu abad berlalu, Tumbang Anoi tetap menjadi sumbu perdamaian bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Mengayau atau memenggal kepala musuh dalam perang antarsuku dahulu kala adalah salah satu kebiasaan sejumlah subsuku Dayak di daratan Kalimantan (kini terbagi menjadi wilayah Indonesia, Malaysia, dan Brunei) yang sangat ditakuti. Kadangkala, mengayau tidak hanya dilakukan dalam peperangan, tetapi juga ketika merampok, mencuri, atau menduduki wilayah subsuku lain.
Sebelum disepakati untuk dihentikan, mengayau makin membudaya karena semakin banyak kepala musuh yang dipenggal (dibuktikan dengan banyaknya tengkorak musuh di rumahnya), seorang lelaki semakin disegani. Bahkan, perselisihan antarsuku terus berlanjut karena masing-masing suku membalas dendam. Perselisihan berkepanjangan itu membuat Residen Belanda di Kalimantan Tenggara yang kini meliputi wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan merasa tidak aman.
Dalam bukunya, Pakat Dayak, KMA M Usop menuturkan, Brus, Residen Belanda Wilayah Kalimantan Tenggara, pada Juni 1893 mengundang semua kepala suku yang terlibat sengketa ke Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, untuk membicarakan upaya perdamaian.
Dalam pertemuan itu disepakati, harus digelar pertemuan lanjutan yang melibatkan seluruh suku Dayak di Borneo untuk membahas berbagai persoalan yang menjadi akar perselisihan. Namun, menggelar pertemuan lanjutan itu bukan pekerjaan mudah. Ketika itu, akses antarwilayah masih mengandalkan sungai.
Satu-satunya kepala suku yang mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah pertemuan akbar itu adalah Damang Batu, salah satu kepala suku Dayak Ot Danum di Tumbang Anoi. Sepulang dari Kuala Kapuas, Damang Batu yang ketika itu berumur 73 tahun langsung memulai pekerjaan besarnya menyiapkan tempat dan logistik.
Selama lima bulan hingga akhir 1893, Damang Batu tak pernah menetap di desanya. Ia terus berkeliling ke desa lain untuk mengumpulkan makan an. Ada cerita lain yang menyebutkan, Damang Batu juga menyiapkan 100 kerbau miliknya untuk makan an para undangan. Ia juga meminta masyarakat di Tumbang Anoi dan sekitarnya membangun pondok bagi tamu undangan rapat.
Damang Batu jugalah yang menyebarkan undangan rapat secara berantai kepada kepala suku-kepala suku di daratan Kalimantan.
Sebanyak 152 suku diundang ke Tumbang Anoi. Dalam rapat yang digelar selama dua bulan sejak 22 Mei hingga 24 Juli 1894 itu, sekitar 1.000 orang hadir. Mereka dari suku-suku Dayak dan sejumlah pejabat kolonial Belanda wilayah Borneo. Usop juga mencatat, sedikitnya 50 kerbau, 50 sapi, dan 50 babi, serta bahan makan an lain seperti beras dan ubi kayu disediakan untuk konsumsi mereka yang hadir ketika itu.
Selain mengakhiri tradisi pengayauan, rapat akbar itu juga menyepakati beberapa keputusan penting, di antaranya menghentikan perbudakan dan menjalankan hukum adat Dayak.
Dalam catatan sejarah yang ditulis Usop, rapat di Tumbang Anoi itu juga membahas sekitar 300 perkara. Sebanyak 233 perkara dapat diselesaikan, 24 perkara ditolak karena kedaluwarsa atau sudah lebih dari 30 tahun, dan 57 ditolak karena kekurangan bukti.
Tumbang Anoi menjadi tempat perdamaian sebelum abad 19 upaya-upaya perdamaian itu memang saudah mulai dilakukan oleh beberapa pihak. Rapat atau Pumpung di Tumbang Anoi memang di prakarsai oleh Belanda, dan dipilih desa tersebut mengingat letaknya yang berada di tengah-tengah, sehingga para undangan dari segala daerah dapat dengan mudah datang. Nama-nama yang hadir dalam pertemuan tersebut yaitu tokoh-tokoh yang dipercayai oleh masyarakat, sebagaimana catatan Damang Pijar, kepala adat Kahayan Hulu, ialah sebagai berikut:
1. Asisten Residen Hoky dari Banjarmasin
2. Kapten Christofel dari Kuala Kapuas
3. Letnan Arnold dari Kuala Kapuas
4. Raden Johannes Bangas dari Kuala Kapuas
5. Jaksa Sahabu dari Kuala Kapuas
6. Tamanggung Dese dari Kuala Kapuas
7. Juragan Tumbang dari Kuala Kapuas
8. Suta Nagara, Telang—sungai Mahakam (Kalteng)
9. Tamanggung Jaya Karti, Buntok
10. Tamanggung Sura, Buntok
11. Mangku Sari, Tumbang (Muara) Teweh
12. Tamanggung Surapati, Siang
13. Tamanggung Awan, Saripoi
14. Tamanggung Udan, Nyarung Uhing
15. Jaga Beruk, Tumbang Kunyi
16. .Raden Sahidar, Tumbang Jelay
17. .H. Bamin, Tumbang Jelay
18. Tamanggung Hadangan, Tumabang Likoi
19. Tamanggung Lenjung, Tumbang Lahei
20. H. Bahir, Tumbang Lahung
21. .H. Halip, Tumbang Lahung